Anda termasuk penggemar jamu tradisional? Kalau iya, jika ada waktu luang sebaiknya Anda mencoba singgah di Jl Tanahtinggi gang 8, Joharbaru, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, terdapat seorang pembuatan jamu tradisional bernama Rochmiatun atau akrab disapa Bi Iroh. Selain mempekerjakan delapan orang untuk berjualan keliling, Bi Iroh juga masih melayani pembeli perorangan. Jenis jamu yang dibuat diantaranya, beras kencur, kunir asem, godong kates, brotowali, kudu laos, cabai puyang, kunci suruh, dan uyup- uyup.
Wanita berusia 60 tahun ini mengaku tak pernah bosan membuat jamu tradisional. Berkat ketekunannya, jamu-jamu hasil olahannya tetap eksis sampai sekarang. Meski tak lagi berjualan keliling, namun usaha yang dimulai sejak tahun 1970 itu sudah memiliki pelanggan tetap, misalnya di wilayah Joharbaru, Cempakaputih, Kemayoran, Kelapagading, Pulogadung, Rawamangun, dan Rawasari. Semua pelanggan ini dilayani oleh para penjual jamu keliling yang bekerja pada Bi Iroh.
Segelas jamu buatan Bi Iroh dihargai antara Rp 3000-Rp 4000, tergantung dari campuran yang diinginkan pembeli. Dan setiap hari Bi Iroh mendapatkan omzet penjualan sekitar Rp 600 ribu. "Karena Satu orang rata-rata bisa memperoleh Rp 60 ribu sampai Rp 75 ribu," ungkapnya, Jumat (10/7).
Bi Iroh mengatakan, keterampilanya membuat jamu didapat secara turun temurun. Dan ia menekuni pembuatan jamu tradisional ini sejak tahun 1965. "Nenek mewariskan jamu tersebut kepada ibu, dan ibu menurunkannya kepada saya," ungkapnya.
Meski tidak terdaftar di Badang Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), namun Bi Iroh memastikan jamu buatannya ini sangat aman karena cukup hieginis. Buktinya, sejak ia memasarkan pada tahun 1970 hingga saat ini belum ada yang mengeluhkan efek samping atau keluhan lainnya. "Dari tahun ke tahun jamu buatan saya aman diminum orang. Dan sejauh ini tidak ada masalah, buktinya banyak yang beli. Kalau nggak aman ya sudah nggak laku," seloroh Bi Iroh.
Ia menuturkan, cara pembuatan jamu tradisional itu sangat sederhana, yakni mencuci bahan-bahan yang akan dibuat menjadi jamu dengan bersih, kemudian diparut, ada yang ditumbuk, ada juga yang langsung direbus, kemudian diambil sarinya. Namun yang terpenting dalam pembuatan ini adalah cara meramunya. Jika ramuan pas maka khasiatnya akan lebih baik. "Semuanya kita lakukan dengan bersih dan hati-hati," tuturnya.
Kendati jamu buatanya telah memiliki pelanggan tetap, namun pangsa pasar setiap tahun semakin menyusut. Sebab, saat ini banyak jamu tradisional kemasan yang buat pabrik. Belum lagi, banyak obat-obat herbal asal Cina yang beredar di ibu kota. "Kalau sekarang saingannya makin banyak. Tapi kita tetap menjaga mutu. Sehingga, jamu tradisional asli Indonesia ini tidak kehilangan pembeli," tukasnya.
Rabu, 23 September 2009
Anda termasuk penggemar jamu tradisional? Kalau iya, jika ada waktu luang sebaiknya Anda mencoba singgah di Jl Tanahtinggi gang 8, Joharbaru, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, terdapat seorang pembuatan jamu tradisional bernama Rochmiatun atau akrab disapa Bi Iroh. Selain mempekerjakan delapan orang untuk berjualan keliling, Bi Iroh juga masih melayani pembeli perorangan. Jenis jamu yang dibuat diantaranya, beras kencur, kunir asem, godong kates, brotowali, kudu laos, cabai puyang, kunci suruh, dan uyup- uyup.
Wanita berusia 60 tahun ini mengaku tak pernah bosan membuat jamu tradisional. Berkat ketekunannya, jamu-jamu hasil olahannya tetap eksis sampai sekarang. Meski tak lagi berjualan keliling, namun usaha yang dimulai sejak tahun 1970 itu sudah memiliki pelanggan tetap, misalnya di wilayah Joharbaru, Cempakaputih, Kemayoran, Kelapagading, Pulogadung, Rawamangun, dan Rawasari. Semua pelanggan ini dilayani oleh para penjual jamu keliling yang bekerja pada Bi Iroh.
Segelas jamu buatan Bi Iroh dihargai antara Rp 3000-Rp 4000, tergantung dari campuran yang diinginkan pembeli. Dan setiap hari Bi Iroh mendapatkan omzet penjualan sekitar Rp 600 ribu. "Karena Satu orang rata-rata bisa memperoleh Rp 60 ribu sampai Rp 75 ribu," ungkapnya, Jumat (10/7).
Bi Iroh mengatakan, keterampilanya membuat jamu didapat secara turun temurun. Dan ia menekuni pembuatan jamu tradisional ini sejak tahun 1965. "Nenek mewariskan jamu tersebut kepada ibu, dan ibu menurunkannya kepada saya," ungkapnya.
Meski tidak terdaftar di Badang Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), namun Bi Iroh memastikan jamu buatannya ini sangat aman karena cukup hieginis. Buktinya, sejak ia memasarkan pada tahun 1970 hingga saat ini belum ada yang mengeluhkan efek samping atau keluhan lainnya. "Dari tahun ke tahun jamu buatan saya aman diminum orang. Dan sejauh ini tidak ada masalah, buktinya banyak yang beli. Kalau nggak aman ya sudah nggak laku," seloroh Bi Iroh.
Ia menuturkan, cara pembuatan jamu tradisional itu sangat sederhana, yakni mencuci bahan-bahan yang akan dibuat menjadi jamu dengan bersih, kemudian diparut, ada yang ditumbuk, ada juga yang langsung direbus, kemudian diambil sarinya. Namun yang terpenting dalam pembuatan ini adalah cara meramunya. Jika ramuan pas maka khasiatnya akan lebih baik. "Semuanya kita lakukan dengan bersih dan hati-hati," tuturnya.
Kendati jamu buatanya telah memiliki pelanggan tetap, namun pangsa pasar setiap tahun semakin menyusut. Sebab, saat ini banyak jamu tradisional kemasan yang buat pabrik. Belum lagi, banyak obat-obat herbal asal Cina yang beredar di ibu kota. "Kalau sekarang saingannya makin banyak. Tapi kita tetap menjaga mutu. Sehingga, jamu tradisional asli Indonesia ini tidak kehilangan pembeli," tukasnya.
Wanita berusia 60 tahun ini mengaku tak pernah bosan membuat jamu tradisional. Berkat ketekunannya, jamu-jamu hasil olahannya tetap eksis sampai sekarang. Meski tak lagi berjualan keliling, namun usaha yang dimulai sejak tahun 1970 itu sudah memiliki pelanggan tetap, misalnya di wilayah Joharbaru, Cempakaputih, Kemayoran, Kelapagading, Pulogadung, Rawamangun, dan Rawasari. Semua pelanggan ini dilayani oleh para penjual jamu keliling yang bekerja pada Bi Iroh.
Segelas jamu buatan Bi Iroh dihargai antara Rp 3000-Rp 4000, tergantung dari campuran yang diinginkan pembeli. Dan setiap hari Bi Iroh mendapatkan omzet penjualan sekitar Rp 600 ribu. "Karena Satu orang rata-rata bisa memperoleh Rp 60 ribu sampai Rp 75 ribu," ungkapnya, Jumat (10/7).
Bi Iroh mengatakan, keterampilanya membuat jamu didapat secara turun temurun. Dan ia menekuni pembuatan jamu tradisional ini sejak tahun 1965. "Nenek mewariskan jamu tersebut kepada ibu, dan ibu menurunkannya kepada saya," ungkapnya.
Meski tidak terdaftar di Badang Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), namun Bi Iroh memastikan jamu buatannya ini sangat aman karena cukup hieginis. Buktinya, sejak ia memasarkan pada tahun 1970 hingga saat ini belum ada yang mengeluhkan efek samping atau keluhan lainnya. "Dari tahun ke tahun jamu buatan saya aman diminum orang. Dan sejauh ini tidak ada masalah, buktinya banyak yang beli. Kalau nggak aman ya sudah nggak laku," seloroh Bi Iroh.
Ia menuturkan, cara pembuatan jamu tradisional itu sangat sederhana, yakni mencuci bahan-bahan yang akan dibuat menjadi jamu dengan bersih, kemudian diparut, ada yang ditumbuk, ada juga yang langsung direbus, kemudian diambil sarinya. Namun yang terpenting dalam pembuatan ini adalah cara meramunya. Jika ramuan pas maka khasiatnya akan lebih baik. "Semuanya kita lakukan dengan bersih dan hati-hati," tuturnya.
Kendati jamu buatanya telah memiliki pelanggan tetap, namun pangsa pasar setiap tahun semakin menyusut. Sebab, saat ini banyak jamu tradisional kemasan yang buat pabrik. Belum lagi, banyak obat-obat herbal asal Cina yang beredar di ibu kota. "Kalau sekarang saingannya makin banyak. Tapi kita tetap menjaga mutu. Sehingga, jamu tradisional asli Indonesia ini tidak kehilangan pembeli," tukasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)